Sabtu, 19 Mei 2012

Aku Ingin Berdamai...


     Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri, dirinya dan dia. Aku lelah mencengkram duka yang kupikir tak berujung. Namun sesungguhnya aku lah yang tahu dimana duka ini akan selesai. Hanya aku yang bisa mengakhiri duka, luka dan dendam yang ku sulut terbiar tanpa padam. Hanya aku yang bisa menyelesaikan satu episode cerita hidupku ini, bukan laki-laki dan perempuan itu. Ku benamkan diriku tanpa ampun dalam dendam yang melelahkan, ku biarkan dunia gelap tak tersibak, ku tutup mataku sendiri dari cahaya yang melimpah ruah di semesta yang luas ini. Aku terlalu sibuk mengorek luka ku sendiri dan mengutukinya tanpa henti. Lalu bagaimana wujudku yang sekarang ? Mengerikan… Sungguh mengerikan. Lantas sampai kapan ini kan berlanjut sementara waktu tak akan terus menunggu ?
     Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri, dirinya dan dia. Menutup cerita lama dan membuka episode baru tanpa ada ion-ion negatif yang melingkupiku, hanya hawa positif yang akan membuatku sehat dalam menjalani hidup. Apa sebenarnya yang aku tak punya di dalam hidupku ini ? Dua permata hidup yang mempunyai bakat kemilau luar biasa ! Kemurahan Allah SWT yang tiada pernah berhenti menaungi diriku. Aku masih punya udara, air, tanah, api yang ku dapatkan dengan mudahnya, untukku melanjutkan hidupku. Kawan-kawan yang baik, tulus ikhlas mengingatkan, menasehati, membantu, mendoakan dan setia menemaniku dalam tangis dan tawaku. Apalagi yang tak ku punya dalam hidup ini ? Cinta ? sahabatku mengatakan cinta Allah lebih besar dari cinta insan dan aku sedang menanam keyakinan itu sebaik mungkin dan menjadikannya pijakan disaat aku berduka dan merasa sepi. Yang tak ku punya saat ini adalah kelapangan hati dan rasa syukur yang tenggelam oleh egoisme rasa duka mansiawi tanpa kendali.
     Aku ingin berdamai dengan diriku dan hidupku dengan ada, atau tidak ada dirinya dan dia. Aku akan memulainya dari awal, dengan niat yang baru bahwa sesungguhnya hidup dan matiku hanya untuk pemilik kehidupan dan kematianku Allah SWT. Ku harap Allah memberiku tenggat waktu lagi untuk mendekatiNYa, mengibaNya, menangisiNya, bersyukur atas namaNya, dan segala dosaku diampuniNya serta menjadi salah satu kekasihNya. Jika aku tak beruntung di dunia aku harus yakin Allah sedang membuat peruntunganku yang lain. Dan jika memang dengan cara ini Allah ingin aku dekat padaNya, dengan derai air mata serta rintihan kesakitan yang terucap dari bibirku, baiklah aku pasrah dengan caraNya.
     Aku ingin berdamai dengan diriku dan hidupku. Menggapai damai, tak ada lagi rasa dendam yang membakar, tak ada tangis yang meraung, tak ada lagi mimpi buruk di setiap tidurku, tak adalagi flash memory yang meracuni otakku. Mendekap dua permataku dengan penuh cinta tak terkontaminasi dengan perasaan emosional pribadiku. Menerima kenyataan dan menjalaninya sepenuh hati. Rasa damai, tenang, tentram, sejuk, lembut, aku ingin itu. Aku tersenyum sejenak, dan berpikir pasti tak semudah itu meraihnya, tak semudah menuliskannya seperti sekarang ini. Tantangan, hambatan, dan godaannya setimpal, sebanding dengan apa yang ingin ku raih. Lantas apa aku akan menyerah lagi ? Menyerah sekarang ?  Aku tidak mau ! Aku tidak boleh !
     Aku datang mengetuk pintu Mu yaa Allah… hanya Engkau yang memiliki rasa kasih yang luar biasa jangan tinggalkan aku, pegangi aku jangan sampai terlepas lagi karena aku pun berpegang padaMu. Tak ada yang tahu rahasiaMu untuk pengampunan dosa, aku hanya berharap Kau kan mengampuni salahku. Aku pernah tersesat, tak tahu jalan pulang, bak sinar mercusuar di tengah lautan dengan terengah-engah aku datang mengikuti cahaya itu dan berharap bisa pulang dengan selamat. Aku tak bisa berkata lagi dan pastinya Kau tahu apa isi hati dan mana  yang terbaik buatku. Aku pulang yaa Allah… aku pulang… terima diriku ini…

Senin, 14 Mei 2012

Maafkan Semua Kesalahan dan Kekuranganku...


Biarkan Aku Menulis Pledoi Diriku Sebagai Istrimu
     Katanya aku yang bersalah sehingga dia mencari perempuan lain, semua terjadi karena kesalahanku, KESALAHANKU. Namun biarkan aku menceritakan siapa diriku yang sebenarnya sebab aku juga manusia dan perempuan biasa, perempuan abad 21 dan bukan perempuan yang ditempa di jaman Rasulullah SAW. Inilah diriku…
     Namaku Maria Caroline Janis dan ketika diislamkan di umur tujuh tahun namaku berganti menjadi Mariana, hanya Mariana. Di kampung aku sering dipanggil dengan nama Maria seperti nama asliku yang dulu meski aku kurang suka dipanggil begitu. Aku lebih suka dipanggil Ana atau Mariana, namun suami dan keluarga suamiku memanggilku dengan sebutan Ria. Aku mengalami masa kecil yang tidak bahagia, tidak ada sosok ayah yang menemaniku tumbuh dewasa, mamaku pun terlalu sibuk untuk mencari uang demi sekolahku. Masa kecil yang penuh trauma, kekerasan fisik dan mental dari ayah tiriku (alm), dan aku sangat merindukan mamaku meski mama tiap hari bisa ku lihat. Semua ku simpan dalam hatiku, masa sekolah dasar yang ceria tak sepenuhnya ku nikmati, aku merasa ayah tiriku telah merebut mamaku hingga aku merasa sepi sendiri dan mama terkadang membayar rasa sepiku dengan uang jajan yang lebih. Aku menjadi sosok yang ceria di luar namun terluka dan penuh dendam dan amarah di dalam.
     Hingga aku harus melewatkan satu cawu terakhir di sekolah tanpa mama karena mama pindah ke kota lain dan meninggalkan aku dengan tante yang punya empat anak laki-laki. Aku merasa tertekan, aku merasa terbuang dan inilah cikal bakal sifat dan sikap burukku. Di smp pun tak kalah melelahkannya, kekerasan psikologis masih aku terima dari ayah tiriku dan dari kebiasaanku di awalnya aku tak pernah mengadu pada mamaku, aku menyimpannya dan tanpa tahu harus aku ceritakan ke siapa. Aku menjadi pendendam dan gampang meledak karena aku menyimpan bom-bom waktu di dalam diriku. Aku tenang namun bisa sangat galak, aku ceria namun aku bisa sangat murung, aku sabar namun aku bisa murka. Tanpa sadar inilah ternyata karakterku, tak mampu mengelola emosi dengan baik.
     Sekolah menengah umum, tahun pertama lagi-lagi aku dititipkan kepada tante karena mama tak punya pilihan lain agar aku merasa nyaman jauh dari ayah tiriku. Aku tak membantah aku terima saja meski rumah itu pun menyimpan cerita yang tak kalah kelam dan perihnya. Aku pun menenal cinta pertamaku disana namun tak berbalas, kakak kelas yang aku taksir suka padaku karena aku mirip dengan mantannya. Oohh… yaaa.. aku patah hati, kembali aku merasa dunia terasa sepi. Aku menyimpannya lagi dan lagi… akhirnya aku berubah jadi makhluk dengan sifat dan sikap tak tertebak. Aku bisa menjadi baik dan jahat seketika, aku bisa tersenyum dan menangis saat itu juga. Aku menjadi pemarah dan penuh angkara jika ada yag tak sesuai dengan keinginanku. Namun untungnya aku masih bisa berteman dan bergaul dengan baik. Tak lama seorang kakak kelas ingin jadi pacarku, dan aku menerimanya. Tetapi hubungan itu dilanjutkan dengan long distance relationship, mama merindukanku katanya dan memintaku pulang. Baiklah aku pulang toh aku masih percaya apa pun yang mama lakukan buatku adalah demi kebaikanku.
     Aku menemukan keajaiban… naik kelas dua aku serius berjilbab,ikut rohis dan menjadi personel remus (remaja mushollah) di sekolah yang tebilang unggulan dan elite di kotaku. Saat mengaji aku diberi tahu dalam islam tidak ada yang namanya pacaran, dan aku menjaga jarak dengan pacarku yang saat itu sudah berada di pendidikan kepolisian, dan bersiap menjadi seorang polisi. Namun lagi-lagi kenyamananku terusik di dalam rumah aku masih saja dianggap duri dalam daging bagi ayah tiriku, aku pun menyingkir dari rumah dan menyewa sebuah kamar kost. Karena intensif mengaji aku bisa tenang, sosok Mariana yang temperamental, pemarah, sensitif, mudah menangis terkubur sesaat berganti dengan sosok lain yang tegar.
     Aku dikhianati… pacarku menelponku dan mengatakan ia telah menemukan gadis lain dan hendak menikahinya. Baiklah… aku melepaskannya dan berdoa mendapat ganti yang terbaik dalam hidupku. Menjelang ujian akhir smu seorang kerabat datang ke mamaku untuk melamar aku buat anak sulungnya. Aku semakin gencar berdoa meminta yang terbaik. Namun ada yang salah dengan niatku, aku menerima perjodohan itu agar bisa terlepas dari rumah yang sangat tidak nyaman bagiku,dan terlalu banyak berharap jika laki-laki ini bisa mencurahkan dan memenuhi cinta kasih dalam kehidupanku tanpa aku mengenalnya lebih jauh.
     Aku menikah…. Babak baru yang lebih jauh telah aku masuki. Terkejut… itu gambaran yang terjadi di awal langkahku. Terkejut dengan perbedaan latar belakang keluarga, pola hidup, dan kultural yang semuanya sungguh jauh sangat jauh berbeda dengan yang kujalani selama ini. Belum hilang keterkejutanku, aku harus menjalani peran di rumah mertua sebagai istri yang taat, sabar dan dan harus pandai mengurus rumah, menjadi menantu yang baik dan hormat pada mertua dan ipar yang harus bisa beradaptasi dengan semua saudara-saudara suamiku. Awalnya aku melihat semua yang kulakukan adalah ladang amalku dan mencari ridha Allah SWT. Ritme sebagai menantu di keluarga besar ternyata menyita waktu dan aku kelelahan, kesalahan yang ku lakukan adalah meninggalkan pengajian dan lingkungan yang selama ini merubah Mariana monster menjadi Mariana yang tegar dan ikhlas. Aku kembali menjalani masa-masa sepi, semuanya terasa kembali menyelimutiku. Laki-laki yang kuharap bisa menjadi kawan,sahabat dan kekasihku ternyata tak memenuhi semua harapan ku dan dahagaku pada kasih sayang. Aku kecewa, tenggelam dan kesepian, kebingungan, tanpa kawan dan kelelahan…
     Aku kembali menjadi Mariana Monster, sosok pemarah,sensitif, mudah tersinggung dan cepat menangis… aku kehilangan kendali. Aku marah dan melampiaskan kepada suamiku yang sama sekali tak mengerti keadaanku, aku lelah mengurusi semuanya, dan keadaan menuntutku agar terus bersikap baik karena posisiku di rumah itu. Ketika anak-anakku lahir keadaan ku semakin memburuk dan aku seharusnya mencari bantuan, dan perawatan psikologis atas apa yang terjadi dalam diriku.
     Kini aku yang bersalah … aku tak bisa menjadi istri yang menyenangkan suami, aku tidak taat, aku keras hati, keras kepala, aku, aku, dan aku yang begini begitu. Itu adalah alasan besar dan benar bagi dirinya untuk menikah lagi, ia mencari perempuan yang sesuai inginnya. Di tahun kesembilan pernikahan kami ia menikah siri dengan perempuan yang lebih muda dan cantik dariku.Setahun lebih ia menyembunyikannya dari ku, sering aku bertanya apa alasannya ia hanya menunjuk diriku.
     Tidaaaakkkk…!!! aku ingin mengajukan pembelaan, aku tidak terima jika semuanya adalah salahku, sebagai suami ia harus membimbing dan mendidik istrinya, ia juga harus sabar dengan kekurangan istrinya. Jika ia tidak berkenan dengan kelemahanku mengapa ia diam saja ? mengapa ia membiarkan aku larut dengan hal-hal yang tidak ia sukai ? bukankah dari awal dia bisa menegurku ? mengapa justu ia meninggalkanku di saat aku membutuhkannya ? ia menghukumku dengan cara menikahi perempuan lain. Bagiku ini tidak adil ! Aku yang tengah kritis mencoba mengais sisa-sisa sifat dan sikap baikku ditimpakan lagi dengan poligami yang semakin membuatku hancur. Aku nyaris gila, dan sangat terpojok ketika dia mengungkapkan semua sikap burukku di depan ibunya sebagai alasan untuk menikah lagi.
     Aku hanya ingin membela diri…. Aku hanya ingin membela diri…aku mencintainya, aku menghormati suamiku,ia sering membuatku kesepian, menangis dan terluka namun aku tetap mendoakannya. Kini setelah ia menunjuk jarinya kepadaku, aku terhenyak, aku tak bisa berkata apa-apa karena semuanya benar, aku sangat temperamental dan emosional. Aku seorang monster dulunya dan berganti menjadi gadis baik ketika agama menyentuh seluruh sendi-sendi hidupku. Seharusnya aku bersabar menjalani lakonku di rumah itu, seharusnya aku tak meninggalkan pengajian agar aku tetap tahu bahwa Allah akan selalu melindungiku, menguatkanku dan tak pernah meninggalkanku.
     Inilah hidupku… hidup yang telah dan akan terus aku jalani. Nanti sore aku ada janji di sebuah lembaga konseling bentukan sebuah partai islam. Rata-rata aku mengenal mereka karena mereka adalah para murobbi dan akhwat-akhwat kawan-kawan liqo’at ku dulu. Aku akan menjalani “terapi” di sana dan mendatangkan lagi sosok Mariana yang dulu. Monster ini harus aku kubur, aku harus mengobati diriku dan merestart semua yang ada dalam diriku. Aku sudah terlalu lama berjalan sendirian dan saatnya untuk pulang, meski awalnya aku tersesat namun aku yakin jalan Allah itu sangat terang dan Ia tak akan menyia-nyiakan aku yang ingin kembali berjalan di jalanNya.
     Maafkan aku jika aku menganggap ini pledoi dan terkesan egois membenarkan dan memenangkan diriku sendiri karena bagiku sesuatu hal ada sebab akibatnya… jika memang aku yang salah doakanlah agar aku bisa menjadi lebih baik lagi dan sabar ikhlas itu bisa kuraih dan ku tanam dalam hatiku yang baru…

Senin, 07 Mei 2012

Terbakarnya Rumah Kedua Itu


          Kami hanya sesekali bertemu itu pun jika sedang memilih-milih sayur mba sayur yang datangnya pukul setengah delapan pagi di kost-kostan kami. Candaan pagi dan tawa kecil hanya melibatkan ibu pengelola kost, aku, si mba sayur dan ibu di kamar nomer 22. Penghuni kamar 23 ini jarang tersenyum dan cenderung menutup diri. Aku juga sudah malas untuk tersenyum apalagi menyapanya ketika di suatu pagi senyum yang dengan tulus kutujukan padanya tak berbalas dan hanya di tanggapi dengan delikan mata. Hmm…. Sungguh aku jadi tidak enak, sejak itulah aku tak berminat making friend dengannya.
          Ibu pengelola kost juga tidak terlalu tahu banyak latar belakangnya, ibunya Ita sapaan akrabku pada pengelola kost ini hanya tahu jika ia telah bersuami dan tak lebih dari itu. Hingga suatu hari ibunya Ita menyebut bahwa kemungkinan sangat tertutupnya penghuni kamar 23 itu karena dia istri kedua dari seorang pria berumur yang bekerja di sebuah bank ternama. Aku dan si mba sayur menggumamkan kata “ooohhh….” Dan aku tak ingin mengusik lebih jauh kehidupan perempuan yang kerap berkerudung itu. Ingatanku kembali pada beberapa bulan yang lalu dimana sakitku bermula. Saat ku tulis kisah ini, aku berusaha senetral mungkin tanpa ingin berdiri aku di pihak mana, namun simak saja penuturanku dan simpulkan sejauh mana aku tak berpihak.
          Siang yang terik dan sepi di tempat kost, aku masih asyik menggarap tulisan fiksiku hingga sayup-sayup aku dengar suara-suara orang bernada marah.  Aku tetap tak tergoda untuk keluar dan melihat apa yang terjadi hingga akhirnya terdengar suara-suara itu semakin melengking. Terseret oleh rasa penasaran akhirnya aku mengintip di jendela, sumpah serapah, caci maki yang pedas di telinga tersembur dari mulut seorang perempuan. Aku menghela nafas panjang, aku mengerti sekarang apa yang terjadi, istri pertama datang menemui istri kedua dengan kemarahan yang menggunung. Aku termenung di sudut jendela, dua sisi hatiku terpecah dua. Sisi kiriku tertawa puas dengan kejadian itu, seakan mewakili kata-kata yang selama ini ingin aku ucapkan dengan teriakan memuaskan. Sisi kiri yang tak mengenal kata maaf, kata ikhlas, kata rela, dan penuh dengan amarah. Rumah kedua itu sedang terbakar, perempuan kedua itu tengah dipermalukan, segala makian yang merendahkan perempuan terdengar beruntun dari mulut istri pertama. aku tidak ingin menguping tapi inilah realita, aku seakan-akan berada di posisi yang sama, mendadak hatiku riuh dengan perasaan perih yang terbuka lagi.
          Lantas apa yang dikatakan sisi kananku saat itu ? andai saja kau jadi perempuan kedua itu An… andai saja kau yang menjalani kehidupan tertutup rapat itu… andai saja kau yang sedang dimaki tanpa perasaan… sisi kananku mencoba untuk berbelas kasihan. Perempuan kamar 23 itu baru saja melahirkan bayinya dua hari yang lalu. Aku berhasil menyeret kakiku menjauh dari jendela dan terduduk di kasur tempat favoritku untuk menulis. Aku bertanya, jika kelak aku menemukan rumah kedua suamiku, jika kelak aku menemukan perempuan kedua itu, apa yang harus aku lakukan ? berlaku sama dengan perempuan yang datang penuh dengan kebencian itukah ? mencaci makinya seperti menghardik pencuri yang kedapatan tangan sedang mencuri ? Aku ingin bertindak lebih elegan, menyapanya dengan senyum, menjabat tangannya dengan lembut, ahhh… benarkah aku mampu melakukannya ? Bisa saja karena aku bukan perempuan istri pertama itu, aku adalah aku dengan kepribadian dan pemikiranku sendiri.
          Perempuan itu sudah pindah dengan bayinya tanpa sepengatahuan suaminya,ia pun tak berpamitan dengan ibunya Ita, ia pergi begitu saja mencoba menghilang tanpa jejak. Aku yang masih sinis melihatnya seperti sedang berlari dan terus berlari, bersembunyi dari istri pertama dan keluarga istri pertama yang bergantian datang melihat dan memaki dirinya. Sampai kapan ia akan menjalani kehidupan seperti itu, toh tak ada yang tahu mengapa ia mau dinikahi laki-laki yang seumuran dengan bapaknya. Aku pun masih mempertanyakan hal yang sama mengapa perempuan itu mau dinikahi suamiku meski ia tahu aku ada, anak-anakku pun ada. Satu-satunya jawaban yang bisa membuatku sedikit membaik adalah semua sudah direncanakan olehNya, skenario ini telah dibuat olehNya. Lantas mampukah sisi kananku menaklukan sisi kiriku yang sombong, angkuh dan penuh dendam ? yaa Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang… beri aku waktu… beri aku kesembuhan sehingga aku tak perlu membakar rumah kedua itu…

Kamis, 03 Mei 2012

Facebook oh Facebook...


                                  Facebook Telah Membawanya Kepadaku
         “Cici jangan pergi lama-lama yaa !” dengan cadel dan suara hendak menangis Yus memegangi ujung bajuku, tatapan matanya seperti memohon satu janji yang pasti. Aku mencium pipi putihnya dan berjanji pada adik kecilku, namun dengan sarat keraguan kuucapkan paksa kalimat ini  “Iya… Cici janji, Cici gak akan lama-lama perginya dan akan kembali lagi, Cici dan Abang akan main bersama-sama lagi.” Aku akhirnya berangkat dengan mama, aku menengok ke belakang berharap masih melihat sosok kecil berambut tipis, berkulit putih, bermata sipit dan selalu memanggilku Cici, panggilan adik ke kakak perempuannya. Taksi sudah sangat menjauh dari kediaman kami yang terbuat dari dari kayu di kampung dalam di daerah Batam sana. Saat itu usiaku baru tujuh tahun, dan Yus adik laki-laki kesayanganku baru berumur empat tahun, tak pernah kusangka aku akan berpisah dari sosok mungil teman bermainku dan janji yang penuh keraguan itu tak pernah terwujud.
          Saat itu ingin sekali kembali turun dari taksi yang membawa kami ke pelabuhan. Aku ingin kembali ke rumah kayu itu dan tak akan pergi dari adik kecilku, tinggal bersama dia dan papa, tak usah ikut mama, jika aku pergi siapa yang akan menemani Yus bermain, makan, dan berdoa ?  Ada yang perih rasanya di perutku saat itu, mataku pun basah namun ku tahan agar tangisku tidak pecah. Ku tahan segenap sedih yang menyesakkan dadaku, aku tak mau mendengar mama bertanya mengapa aku menangis sementara mama sebenarnya sudah tahu jawabnya. Ketika itu aku hanya berharap waktu lekas berlalu, membawaku menjadi dewasa agar aku bisa kembali lagi ke tanah ini di mana tanah bermain ku yang terakhir bersama Yus. Lekas dewasa agar aku bisa pahami keputusan mama yang membagi siapa ikut siapa dan siapa membawa siapa. Yaahh… perpisahan orang tua memang kerap menjadikan anak-anak sebagai korban. Terpisah satu dengan yang lainnya, tak utuh dan membawa perih dan trauma luar biasa. Seperti yang ku rasa hingga dampaknya masih membekas dihitungan umur ku yang dua tahun lagi genap berkepala tiga. Hingga aku menanamkan tekad di hatiku, apa pun yang terjadi pada rumah tanggaku (mudah-mudahan tidak) anak-anakku tidak boleh hidup terpisah mereka harus tetap bersama.

          Beberapa bulan aku masih sering menerima surat-surat papa yang kebanyakan berasal dari Singapura. Papa saat itu memang seorang pelaut dan sering menitipkan adikku pada keluarga teman-temannya atau tetangga. Hingga Yus hendak masuk sekolah dasar barulah Yus dititip di Bitung, keluarga papa. Namun aku masih belum bisa berkomunikasi langsung dengan Yus hanya lewat surat-surat papa aku tahu kondisi Yus. Ditahun ketiga menjelang kelulusan smp komunikasi dengan papa akhirnya terputus sama sekali. Aku bingung tak tahu harus menghubungi papa dan Yus kemana. Surat-surat yang terkirim tak pernah mendapat balasan dan akhirnya aku hanya bisa mencari mereka lewat doa.
         Aku pun menikah selepas smu dan hobiku menulis masih berlanjut. Mengenal internet baru di sekitaran tahun 2007-2008. Kesibukanku sebagai irt dan mengurus anak membuatku tak banyak waktu mengenal internet lebih jauh lagi. Ketika facebook mulai booming aku sama sekali belum tertarik hingga di titik kerinduanku pada adik dan papa menyeruak lagi dan memiliki ide mengapa tak mencari jejak mereka di dunia maya. Namun lagi-lagi keaktifanku dalam dunia maya masih belum sepenuhnya, aku harus ikut ke seberang pulau ikut suami dan niat mencari adikku di dunia maya terurung jua.
          Tahun 2010 di bulan desember menjelang tahun baru aku mulai mengaktifkan kembali akun facebook yang sebenarnya sudah ku buat di tahun sebelumnya. Satu persatu kawan lama dan kawan baru masuk dalam kehidupanku. Sesekali aku menulis status tentang pencarian papa dan adikku itu. Hanya sedikit yang merespon, aku akhirnya menemukan tempat yang sangat mengasyikkan yaitu berkumpul di grup-grup yang berisi orang-orang yang punya hobi,minat dan impian yang sama yaitu menulis dan menjadi penulis. Sampai suatu hari ada teman yang mengatakan bahwa temannya pernah mendengar nama adikku itu, dengan secepat kilat ku ketik nama adikku itu di pencarian dan…. Ia kutemukan !… Adik kecilku kini menjelma menjadi seorang pemuda yang gagah,berkaca mata dan cerdas pula. Aku segera mengirimkan permintaan pertemanan, mengirimkan pesan bahwa aku sangat ingin berteman dengannya. Yaa… aku sengaja memang tidak mengungkap siapa aku sebenarnya. Ia hanya tahu jika ada seorang ibu muda, status menikah, dan beranak dua ingin menjadi temannya. Tak lupa aku meminta nomer ponselnya dan menunggu respon dirinya.
          Permintaan pertemananku diterima, pesan di kotak masuknya dibalas pula, ia pun mengirimkan nomer ponselnya meski harus menunggu. Sore itu juga aku menelponnya dengan debar jantung tak karuan, bunyi tuuut…tuuutt… itu terdengar berkali-kali hingga akhirnya suaranya dari seberang menyapaku dengan ramah. Segenap perasaan ku tekan sebisa mungkin agar terdengar normal. Aku tak membuka identitasku yang sebenarnya takut ia menolakku karena janjiku yang tak bisa kupenuhi “ Jangan pergi lama-lama,Ci”  Sebisa mungkin ku mengorek keterangan keluarga menurutnya dan benar ia mengakui bahwa ia punya mama dan kakak perempuan di suatu kota di daerah Sulawesi Selatan. Aku lega… akhirnya ia kutemukan di dunia maya bernama facebook yang membawa ia kembali padaku. Doaku bertahun-tahun terkabul sudah…
         Malamnya aku kembali mengirimkannya pesan pendek, bertanya-tanya seputar pekerjaan dan kuliahnya. Akhirnya aku pelan-pelan memberi petunjuk siapa aku sebenarnya, siapa sesungguhnya teman facebook barunya ini. Ia pun tanggap dengan pesan-pesan pendek yang menyiratkan banyak pertanda. Ia meminta aku menelponnya jika benar aku cici-nya seperti dugaan awal ketika ia melihat foto profilku di facebook. Dengan tangan gemetar aku menekan tombol panggilan, tanpa perlu menunggu aku langsung mendengar suara tangisnya yang pecah di ujung sana. Rasa tak percaya, rindu yang menggunung, suka cita, dan kesedihan yang tertahan dua puluh tahun meledak di pertengahan malam di awal bulan maret 2010. Menit-menit pertama yang terlewat hanya diisi dengan suara tangis kami berdua, barulah beberapa saat kemudian kami saling bertukar cerita apa yang terjadi pada kami dua puluh tahun selama kami berpisah. Rasa syukur  tak terkira ku panjatkan kepada Allah SWT semata, jalan panjang yang ditempuh dalam pencarian berakhir di sebuah akun facebook. Bukan hanya keluarga yang hilang telah kutemukan tapi juga berjuta impian telah ku dapatkan disini. Kawan-kawan yang menakjubkan dan tak akan terlupakan. Ini adalah kisahku tentang facebook, suatu keajaiban dunia maya menurutku, dan ku yakin bukan hanya aku saja yang mengalaminya karena di tempat lain kawan-kawanku menemukan belahan jiwa mereka dan membina rumah tangga yang berawal dari sebuah akun di facebook. Betul… Betul…Betul… ? : )