Biarkan Aku
Menulis Pledoi Diriku Sebagai Istrimu
Katanya aku yang bersalah sehingga dia
mencari perempuan lain, semua terjadi karena kesalahanku, KESALAHANKU. Namun
biarkan aku menceritakan siapa diriku yang sebenarnya sebab aku juga manusia
dan perempuan biasa, perempuan abad 21 dan bukan perempuan yang ditempa di
jaman Rasulullah SAW. Inilah diriku…
Namaku Maria Caroline Janis dan ketika
diislamkan di umur tujuh tahun namaku berganti menjadi Mariana, hanya Mariana.
Di kampung aku sering dipanggil dengan nama Maria seperti nama asliku yang dulu
meski aku kurang suka dipanggil begitu. Aku lebih suka dipanggil Ana atau
Mariana, namun suami dan keluarga suamiku memanggilku dengan sebutan Ria. Aku
mengalami masa kecil yang tidak bahagia, tidak ada sosok ayah yang menemaniku
tumbuh dewasa, mamaku pun terlalu sibuk untuk mencari uang demi sekolahku. Masa
kecil yang penuh trauma, kekerasan fisik dan mental dari ayah tiriku (alm), dan
aku sangat merindukan mamaku meski mama tiap hari bisa ku lihat. Semua ku
simpan dalam hatiku, masa sekolah dasar yang ceria tak sepenuhnya ku nikmati,
aku merasa ayah tiriku telah merebut mamaku hingga aku merasa sepi sendiri dan
mama terkadang membayar rasa sepiku dengan uang jajan yang lebih. Aku menjadi
sosok yang ceria di luar namun terluka dan penuh dendam dan amarah di dalam.
Hingga aku harus melewatkan satu cawu
terakhir di sekolah tanpa mama karena mama pindah ke kota lain dan meninggalkan
aku dengan tante yang punya empat anak laki-laki. Aku merasa tertekan, aku
merasa terbuang dan inilah cikal bakal sifat dan sikap burukku. Di smp pun tak
kalah melelahkannya, kekerasan psikologis masih aku terima dari ayah tiriku dan
dari kebiasaanku di awalnya aku tak pernah mengadu pada mamaku, aku
menyimpannya dan tanpa tahu harus aku ceritakan ke siapa. Aku menjadi pendendam
dan gampang meledak karena aku menyimpan bom-bom waktu di dalam diriku. Aku
tenang namun bisa sangat galak, aku ceria namun aku bisa sangat murung, aku
sabar namun aku bisa murka. Tanpa sadar inilah ternyata karakterku, tak mampu
mengelola emosi dengan baik.
Sekolah menengah umum, tahun pertama
lagi-lagi aku dititipkan kepada tante karena mama tak punya pilihan lain agar
aku merasa nyaman jauh dari ayah tiriku. Aku tak membantah aku terima saja
meski rumah itu pun menyimpan cerita yang tak kalah kelam dan perihnya. Aku pun
menenal cinta pertamaku disana namun tak berbalas, kakak kelas yang aku taksir
suka padaku karena aku mirip dengan mantannya. Oohh… yaaa.. aku patah hati,
kembali aku merasa dunia terasa sepi. Aku menyimpannya lagi dan lagi… akhirnya
aku berubah jadi makhluk dengan sifat dan sikap tak tertebak. Aku bisa menjadi
baik dan jahat seketika, aku bisa tersenyum dan menangis saat itu juga. Aku
menjadi pemarah dan penuh angkara jika ada yag tak sesuai dengan keinginanku.
Namun untungnya aku masih bisa berteman dan bergaul dengan baik. Tak lama
seorang kakak kelas ingin jadi pacarku, dan aku menerimanya. Tetapi hubungan
itu dilanjutkan dengan long distance relationship, mama merindukanku katanya
dan memintaku pulang. Baiklah aku pulang toh aku masih percaya apa pun yang
mama lakukan buatku adalah demi kebaikanku.
Aku menemukan keajaiban… naik kelas dua
aku serius berjilbab,ikut rohis dan menjadi personel remus (remaja mushollah)
di sekolah yang tebilang unggulan dan elite di kotaku. Saat mengaji aku diberi
tahu dalam islam tidak ada yang namanya pacaran, dan aku menjaga jarak dengan
pacarku yang saat itu sudah berada di pendidikan kepolisian, dan bersiap menjadi
seorang polisi. Namun lagi-lagi kenyamananku terusik di dalam rumah aku masih
saja dianggap duri dalam daging bagi ayah tiriku, aku pun menyingkir dari rumah
dan menyewa sebuah kamar kost. Karena intensif mengaji aku bisa tenang, sosok
Mariana yang temperamental, pemarah, sensitif, mudah menangis terkubur sesaat
berganti dengan sosok lain yang tegar.
Aku dikhianati… pacarku menelponku dan
mengatakan ia telah menemukan gadis lain dan hendak menikahinya. Baiklah… aku
melepaskannya dan berdoa mendapat ganti yang terbaik dalam hidupku. Menjelang
ujian akhir smu seorang kerabat datang ke mamaku untuk melamar aku buat anak
sulungnya. Aku semakin gencar berdoa meminta yang terbaik. Namun ada yang salah
dengan niatku, aku menerima perjodohan itu agar bisa terlepas dari rumah yang
sangat tidak nyaman bagiku,dan terlalu banyak berharap jika laki-laki ini bisa
mencurahkan dan memenuhi cinta kasih dalam kehidupanku tanpa aku mengenalnya
lebih jauh.
Aku menikah…. Babak baru yang lebih jauh
telah aku masuki. Terkejut… itu gambaran yang terjadi di awal langkahku.
Terkejut dengan perbedaan latar belakang keluarga, pola hidup, dan kultural
yang semuanya sungguh jauh sangat jauh berbeda dengan yang kujalani selama ini.
Belum hilang keterkejutanku, aku harus menjalani peran di rumah mertua sebagai
istri yang taat, sabar dan dan harus pandai mengurus rumah, menjadi menantu
yang baik dan hormat pada mertua dan ipar yang harus bisa beradaptasi dengan
semua saudara-saudara suamiku. Awalnya aku melihat semua yang kulakukan adalah ladang
amalku dan mencari ridha Allah SWT. Ritme sebagai menantu di keluarga besar
ternyata menyita waktu dan aku kelelahan, kesalahan yang ku lakukan adalah
meninggalkan pengajian dan lingkungan yang selama ini merubah Mariana monster
menjadi Mariana yang tegar dan ikhlas. Aku kembali menjalani masa-masa sepi,
semuanya terasa kembali menyelimutiku. Laki-laki yang kuharap bisa menjadi
kawan,sahabat dan kekasihku ternyata tak memenuhi semua harapan ku dan dahagaku
pada kasih sayang. Aku kecewa, tenggelam dan kesepian, kebingungan, tanpa kawan
dan kelelahan…
Aku kembali menjadi Mariana Monster, sosok
pemarah,sensitif, mudah tersinggung dan cepat menangis… aku kehilangan kendali.
Aku marah dan melampiaskan kepada suamiku yang sama sekali tak mengerti
keadaanku, aku lelah mengurusi semuanya, dan keadaan menuntutku agar terus
bersikap baik karena posisiku di rumah itu. Ketika anak-anakku lahir keadaan ku
semakin memburuk dan aku seharusnya mencari bantuan, dan perawatan psikologis
atas apa yang terjadi dalam diriku.
Kini aku yang bersalah … aku tak bisa
menjadi istri yang menyenangkan suami, aku tidak taat, aku keras hati, keras
kepala, aku, aku, dan aku yang begini begitu. Itu adalah alasan besar dan benar
bagi dirinya untuk menikah lagi, ia mencari perempuan yang sesuai inginnya. Di
tahun kesembilan pernikahan kami ia menikah siri dengan perempuan yang lebih
muda dan cantik dariku.Setahun lebih ia menyembunyikannya dari ku, sering aku
bertanya apa alasannya ia hanya menunjuk diriku.
Tidaaaakkkk…!!! aku ingin mengajukan
pembelaan, aku tidak terima jika semuanya adalah salahku, sebagai suami ia
harus membimbing dan mendidik istrinya, ia juga harus sabar dengan kekurangan
istrinya. Jika ia tidak berkenan dengan kelemahanku mengapa ia diam saja ?
mengapa ia membiarkan aku larut dengan hal-hal yang tidak ia sukai ? bukankah
dari awal dia bisa menegurku ? mengapa justu ia meninggalkanku di saat aku
membutuhkannya ? ia menghukumku dengan cara menikahi perempuan lain. Bagiku ini
tidak adil ! Aku yang tengah kritis mencoba mengais sisa-sisa sifat dan sikap
baikku ditimpakan lagi dengan poligami yang semakin membuatku hancur. Aku
nyaris gila, dan sangat terpojok ketika dia mengungkapkan semua sikap burukku
di depan ibunya sebagai alasan untuk menikah lagi.
Aku hanya ingin membela diri…. Aku hanya
ingin membela diri…aku mencintainya, aku menghormati suamiku,ia sering
membuatku kesepian, menangis dan terluka namun aku tetap mendoakannya. Kini
setelah ia menunjuk jarinya kepadaku, aku terhenyak, aku tak bisa berkata
apa-apa karena semuanya benar, aku sangat temperamental dan emosional. Aku
seorang monster dulunya dan berganti menjadi gadis baik ketika agama menyentuh
seluruh sendi-sendi hidupku. Seharusnya aku bersabar menjalani lakonku di rumah
itu, seharusnya aku tak meninggalkan pengajian agar aku tetap tahu bahwa Allah
akan selalu melindungiku, menguatkanku dan tak pernah meninggalkanku.
Inilah hidupku… hidup yang telah dan akan
terus aku jalani. Nanti sore aku ada janji di sebuah lembaga konseling bentukan
sebuah partai islam. Rata-rata aku mengenal mereka karena mereka adalah para
murobbi dan akhwat-akhwat kawan-kawan liqo’at ku dulu. Aku akan menjalani
“terapi” di sana dan mendatangkan lagi sosok Mariana yang dulu. Monster ini
harus aku kubur, aku harus mengobati diriku dan merestart semua yang ada dalam
diriku. Aku sudah terlalu lama berjalan sendirian dan saatnya untuk pulang,
meski awalnya aku tersesat namun aku yakin jalan Allah itu sangat terang dan Ia
tak akan menyia-nyiakan aku yang ingin kembali berjalan di jalanNya.
Maafkan aku jika aku menganggap ini pledoi
dan terkesan egois membenarkan dan memenangkan diriku sendiri karena bagiku
sesuatu hal ada sebab akibatnya… jika memang aku yang salah doakanlah agar aku
bisa menjadi lebih baik lagi dan sabar ikhlas itu bisa kuraih dan ku tanam
dalam hatiku yang baru…