Senin, 14 Mei 2012

Maafkan Semua Kesalahan dan Kekuranganku...


Biarkan Aku Menulis Pledoi Diriku Sebagai Istrimu
     Katanya aku yang bersalah sehingga dia mencari perempuan lain, semua terjadi karena kesalahanku, KESALAHANKU. Namun biarkan aku menceritakan siapa diriku yang sebenarnya sebab aku juga manusia dan perempuan biasa, perempuan abad 21 dan bukan perempuan yang ditempa di jaman Rasulullah SAW. Inilah diriku…
     Namaku Maria Caroline Janis dan ketika diislamkan di umur tujuh tahun namaku berganti menjadi Mariana, hanya Mariana. Di kampung aku sering dipanggil dengan nama Maria seperti nama asliku yang dulu meski aku kurang suka dipanggil begitu. Aku lebih suka dipanggil Ana atau Mariana, namun suami dan keluarga suamiku memanggilku dengan sebutan Ria. Aku mengalami masa kecil yang tidak bahagia, tidak ada sosok ayah yang menemaniku tumbuh dewasa, mamaku pun terlalu sibuk untuk mencari uang demi sekolahku. Masa kecil yang penuh trauma, kekerasan fisik dan mental dari ayah tiriku (alm), dan aku sangat merindukan mamaku meski mama tiap hari bisa ku lihat. Semua ku simpan dalam hatiku, masa sekolah dasar yang ceria tak sepenuhnya ku nikmati, aku merasa ayah tiriku telah merebut mamaku hingga aku merasa sepi sendiri dan mama terkadang membayar rasa sepiku dengan uang jajan yang lebih. Aku menjadi sosok yang ceria di luar namun terluka dan penuh dendam dan amarah di dalam.
     Hingga aku harus melewatkan satu cawu terakhir di sekolah tanpa mama karena mama pindah ke kota lain dan meninggalkan aku dengan tante yang punya empat anak laki-laki. Aku merasa tertekan, aku merasa terbuang dan inilah cikal bakal sifat dan sikap burukku. Di smp pun tak kalah melelahkannya, kekerasan psikologis masih aku terima dari ayah tiriku dan dari kebiasaanku di awalnya aku tak pernah mengadu pada mamaku, aku menyimpannya dan tanpa tahu harus aku ceritakan ke siapa. Aku menjadi pendendam dan gampang meledak karena aku menyimpan bom-bom waktu di dalam diriku. Aku tenang namun bisa sangat galak, aku ceria namun aku bisa sangat murung, aku sabar namun aku bisa murka. Tanpa sadar inilah ternyata karakterku, tak mampu mengelola emosi dengan baik.
     Sekolah menengah umum, tahun pertama lagi-lagi aku dititipkan kepada tante karena mama tak punya pilihan lain agar aku merasa nyaman jauh dari ayah tiriku. Aku tak membantah aku terima saja meski rumah itu pun menyimpan cerita yang tak kalah kelam dan perihnya. Aku pun menenal cinta pertamaku disana namun tak berbalas, kakak kelas yang aku taksir suka padaku karena aku mirip dengan mantannya. Oohh… yaaa.. aku patah hati, kembali aku merasa dunia terasa sepi. Aku menyimpannya lagi dan lagi… akhirnya aku berubah jadi makhluk dengan sifat dan sikap tak tertebak. Aku bisa menjadi baik dan jahat seketika, aku bisa tersenyum dan menangis saat itu juga. Aku menjadi pemarah dan penuh angkara jika ada yag tak sesuai dengan keinginanku. Namun untungnya aku masih bisa berteman dan bergaul dengan baik. Tak lama seorang kakak kelas ingin jadi pacarku, dan aku menerimanya. Tetapi hubungan itu dilanjutkan dengan long distance relationship, mama merindukanku katanya dan memintaku pulang. Baiklah aku pulang toh aku masih percaya apa pun yang mama lakukan buatku adalah demi kebaikanku.
     Aku menemukan keajaiban… naik kelas dua aku serius berjilbab,ikut rohis dan menjadi personel remus (remaja mushollah) di sekolah yang tebilang unggulan dan elite di kotaku. Saat mengaji aku diberi tahu dalam islam tidak ada yang namanya pacaran, dan aku menjaga jarak dengan pacarku yang saat itu sudah berada di pendidikan kepolisian, dan bersiap menjadi seorang polisi. Namun lagi-lagi kenyamananku terusik di dalam rumah aku masih saja dianggap duri dalam daging bagi ayah tiriku, aku pun menyingkir dari rumah dan menyewa sebuah kamar kost. Karena intensif mengaji aku bisa tenang, sosok Mariana yang temperamental, pemarah, sensitif, mudah menangis terkubur sesaat berganti dengan sosok lain yang tegar.
     Aku dikhianati… pacarku menelponku dan mengatakan ia telah menemukan gadis lain dan hendak menikahinya. Baiklah… aku melepaskannya dan berdoa mendapat ganti yang terbaik dalam hidupku. Menjelang ujian akhir smu seorang kerabat datang ke mamaku untuk melamar aku buat anak sulungnya. Aku semakin gencar berdoa meminta yang terbaik. Namun ada yang salah dengan niatku, aku menerima perjodohan itu agar bisa terlepas dari rumah yang sangat tidak nyaman bagiku,dan terlalu banyak berharap jika laki-laki ini bisa mencurahkan dan memenuhi cinta kasih dalam kehidupanku tanpa aku mengenalnya lebih jauh.
     Aku menikah…. Babak baru yang lebih jauh telah aku masuki. Terkejut… itu gambaran yang terjadi di awal langkahku. Terkejut dengan perbedaan latar belakang keluarga, pola hidup, dan kultural yang semuanya sungguh jauh sangat jauh berbeda dengan yang kujalani selama ini. Belum hilang keterkejutanku, aku harus menjalani peran di rumah mertua sebagai istri yang taat, sabar dan dan harus pandai mengurus rumah, menjadi menantu yang baik dan hormat pada mertua dan ipar yang harus bisa beradaptasi dengan semua saudara-saudara suamiku. Awalnya aku melihat semua yang kulakukan adalah ladang amalku dan mencari ridha Allah SWT. Ritme sebagai menantu di keluarga besar ternyata menyita waktu dan aku kelelahan, kesalahan yang ku lakukan adalah meninggalkan pengajian dan lingkungan yang selama ini merubah Mariana monster menjadi Mariana yang tegar dan ikhlas. Aku kembali menjalani masa-masa sepi, semuanya terasa kembali menyelimutiku. Laki-laki yang kuharap bisa menjadi kawan,sahabat dan kekasihku ternyata tak memenuhi semua harapan ku dan dahagaku pada kasih sayang. Aku kecewa, tenggelam dan kesepian, kebingungan, tanpa kawan dan kelelahan…
     Aku kembali menjadi Mariana Monster, sosok pemarah,sensitif, mudah tersinggung dan cepat menangis… aku kehilangan kendali. Aku marah dan melampiaskan kepada suamiku yang sama sekali tak mengerti keadaanku, aku lelah mengurusi semuanya, dan keadaan menuntutku agar terus bersikap baik karena posisiku di rumah itu. Ketika anak-anakku lahir keadaan ku semakin memburuk dan aku seharusnya mencari bantuan, dan perawatan psikologis atas apa yang terjadi dalam diriku.
     Kini aku yang bersalah … aku tak bisa menjadi istri yang menyenangkan suami, aku tidak taat, aku keras hati, keras kepala, aku, aku, dan aku yang begini begitu. Itu adalah alasan besar dan benar bagi dirinya untuk menikah lagi, ia mencari perempuan yang sesuai inginnya. Di tahun kesembilan pernikahan kami ia menikah siri dengan perempuan yang lebih muda dan cantik dariku.Setahun lebih ia menyembunyikannya dari ku, sering aku bertanya apa alasannya ia hanya menunjuk diriku.
     Tidaaaakkkk…!!! aku ingin mengajukan pembelaan, aku tidak terima jika semuanya adalah salahku, sebagai suami ia harus membimbing dan mendidik istrinya, ia juga harus sabar dengan kekurangan istrinya. Jika ia tidak berkenan dengan kelemahanku mengapa ia diam saja ? mengapa ia membiarkan aku larut dengan hal-hal yang tidak ia sukai ? bukankah dari awal dia bisa menegurku ? mengapa justu ia meninggalkanku di saat aku membutuhkannya ? ia menghukumku dengan cara menikahi perempuan lain. Bagiku ini tidak adil ! Aku yang tengah kritis mencoba mengais sisa-sisa sifat dan sikap baikku ditimpakan lagi dengan poligami yang semakin membuatku hancur. Aku nyaris gila, dan sangat terpojok ketika dia mengungkapkan semua sikap burukku di depan ibunya sebagai alasan untuk menikah lagi.
     Aku hanya ingin membela diri…. Aku hanya ingin membela diri…aku mencintainya, aku menghormati suamiku,ia sering membuatku kesepian, menangis dan terluka namun aku tetap mendoakannya. Kini setelah ia menunjuk jarinya kepadaku, aku terhenyak, aku tak bisa berkata apa-apa karena semuanya benar, aku sangat temperamental dan emosional. Aku seorang monster dulunya dan berganti menjadi gadis baik ketika agama menyentuh seluruh sendi-sendi hidupku. Seharusnya aku bersabar menjalani lakonku di rumah itu, seharusnya aku tak meninggalkan pengajian agar aku tetap tahu bahwa Allah akan selalu melindungiku, menguatkanku dan tak pernah meninggalkanku.
     Inilah hidupku… hidup yang telah dan akan terus aku jalani. Nanti sore aku ada janji di sebuah lembaga konseling bentukan sebuah partai islam. Rata-rata aku mengenal mereka karena mereka adalah para murobbi dan akhwat-akhwat kawan-kawan liqo’at ku dulu. Aku akan menjalani “terapi” di sana dan mendatangkan lagi sosok Mariana yang dulu. Monster ini harus aku kubur, aku harus mengobati diriku dan merestart semua yang ada dalam diriku. Aku sudah terlalu lama berjalan sendirian dan saatnya untuk pulang, meski awalnya aku tersesat namun aku yakin jalan Allah itu sangat terang dan Ia tak akan menyia-nyiakan aku yang ingin kembali berjalan di jalanNya.
     Maafkan aku jika aku menganggap ini pledoi dan terkesan egois membenarkan dan memenangkan diriku sendiri karena bagiku sesuatu hal ada sebab akibatnya… jika memang aku yang salah doakanlah agar aku bisa menjadi lebih baik lagi dan sabar ikhlas itu bisa kuraih dan ku tanam dalam hatiku yang baru…

8 komentar:

  1. Speecless, mba Ana. Gak bisa komen apa-apa, takut salah. Mari lihat ke depan saja. Yg sudah terjadi biarlah terjadi. Mba Ana masih punya kesempatan tuk memperbaiki semuanya, terutama jiwa Mba. Semoga lebih dekat lagi dgn Allah dan lebih tenang menghadapi semuanya. Aku ikut mendoakan dari jauh, ya...

    BalasHapus
  2. peluk dari jauh mbak ana.semoga Allah memudahkan jalan hidupmu ke depan.aamiin

    BalasHapus
  3. semoga bisa meraih 'hati' yang benar-benar baru dan lebih menikmati nikmat maupun ujian, mb.,
    salam kenal..

    saya juga suka nulis di blog kalo lagi gelisah gitu... :)

    BalasHapus
  4. Perbanyak tadarus yuk ....
    #Saya sudah komen juga kan di FB^^#

    Sy suka ingat2 kata hikmah dari seseorang: Utk hal2 yang di luar kehendakmu ia terjadi, yakini ada hikmah besar di balik sana

    BalasHapus
  5. anaaa ...
    sabar, sayang ... :""(

    BalasHapus
  6. terima kasih,jazakillah semuanya...

    BalasHapus
  7. yang sabar ya mba Ana...salam kenal.

    BalasHapus
  8. Membaca tulisan-tulisanmu, aku hanya ingin memelukmu Mbak Ana...

    Salam silaturahmi

    BalasHapus