Kami hanya sesekali bertemu itu pun
jika sedang memilih-milih sayur mba sayur yang datangnya pukul setengah delapan
pagi di kost-kostan kami. Candaan pagi dan tawa kecil hanya melibatkan ibu
pengelola kost, aku, si mba sayur dan ibu di kamar nomer 22. Penghuni kamar 23
ini jarang tersenyum dan cenderung menutup diri. Aku juga sudah malas untuk
tersenyum apalagi menyapanya ketika di suatu pagi senyum yang dengan tulus
kutujukan padanya tak berbalas dan hanya di tanggapi dengan delikan mata. Hmm….
Sungguh aku jadi tidak enak, sejak itulah aku tak berminat making friend
dengannya.
Ibu pengelola kost juga tidak terlalu
tahu banyak latar belakangnya, ibunya Ita sapaan akrabku pada pengelola kost
ini hanya tahu jika ia telah bersuami dan tak lebih dari itu. Hingga suatu hari
ibunya Ita menyebut bahwa kemungkinan sangat tertutupnya penghuni kamar 23 itu
karena dia istri kedua dari seorang pria berumur yang bekerja di sebuah bank
ternama. Aku dan si mba sayur menggumamkan kata “ooohhh….” Dan aku tak ingin
mengusik lebih jauh kehidupan perempuan yang kerap berkerudung itu. Ingatanku
kembali pada beberapa bulan yang lalu dimana sakitku bermula. Saat ku tulis
kisah ini, aku berusaha senetral mungkin tanpa ingin berdiri aku di pihak mana,
namun simak saja penuturanku dan simpulkan sejauh mana aku tak berpihak.
Siang yang terik dan sepi di tempat
kost, aku masih asyik menggarap tulisan fiksiku hingga sayup-sayup aku dengar
suara-suara orang bernada marah. Aku
tetap tak tergoda untuk keluar dan melihat apa yang terjadi hingga akhirnya
terdengar suara-suara itu semakin melengking. Terseret oleh rasa penasaran
akhirnya aku mengintip di jendela, sumpah serapah, caci maki yang pedas di
telinga tersembur dari mulut seorang perempuan. Aku menghela nafas panjang, aku
mengerti sekarang apa yang terjadi, istri pertama datang menemui istri kedua
dengan kemarahan yang menggunung. Aku termenung di sudut jendela, dua sisi hatiku
terpecah dua. Sisi kiriku tertawa puas dengan kejadian itu, seakan mewakili
kata-kata yang selama ini ingin aku ucapkan dengan teriakan memuaskan. Sisi
kiri yang tak mengenal kata maaf, kata ikhlas, kata rela, dan penuh dengan
amarah. Rumah kedua itu sedang terbakar, perempuan kedua itu tengah
dipermalukan, segala makian yang merendahkan perempuan terdengar beruntun dari
mulut istri pertama. aku tidak ingin menguping tapi inilah realita, aku
seakan-akan berada di posisi yang sama, mendadak hatiku riuh dengan perasaan
perih yang terbuka lagi.
Lantas apa yang dikatakan sisi
kananku saat itu ? andai saja kau jadi perempuan kedua itu An… andai saja kau
yang menjalani kehidupan tertutup rapat itu… andai saja kau yang sedang dimaki
tanpa perasaan… sisi kananku mencoba untuk berbelas kasihan. Perempuan kamar 23
itu baru saja melahirkan bayinya dua hari yang lalu. Aku berhasil menyeret
kakiku menjauh dari jendela dan terduduk di kasur tempat favoritku untuk
menulis. Aku bertanya, jika kelak aku menemukan rumah kedua suamiku, jika kelak
aku menemukan perempuan kedua itu, apa yang harus aku lakukan ? berlaku sama
dengan perempuan yang datang penuh dengan kebencian itukah ? mencaci makinya
seperti menghardik pencuri yang kedapatan tangan sedang mencuri ? Aku ingin
bertindak lebih elegan, menyapanya dengan senyum, menjabat tangannya dengan
lembut, ahhh… benarkah aku mampu melakukannya ? Bisa saja karena aku bukan
perempuan istri pertama itu, aku adalah aku dengan kepribadian dan pemikiranku
sendiri.
Perempuan itu sudah pindah dengan
bayinya tanpa sepengatahuan suaminya,ia pun tak berpamitan dengan ibunya Ita,
ia pergi begitu saja mencoba menghilang tanpa jejak. Aku yang masih sinis
melihatnya seperti sedang berlari dan terus berlari, bersembunyi dari istri
pertama dan keluarga istri pertama yang bergantian datang melihat dan memaki
dirinya. Sampai kapan ia akan menjalani kehidupan seperti itu, toh tak ada yang
tahu mengapa ia mau dinikahi laki-laki yang seumuran dengan bapaknya. Aku pun
masih mempertanyakan hal yang sama mengapa perempuan itu mau dinikahi suamiku
meski ia tahu aku ada, anak-anakku pun ada. Satu-satunya jawaban yang bisa
membuatku sedikit membaik adalah semua sudah direncanakan olehNya, skenario ini
telah dibuat olehNya. Lantas mampukah sisi kananku menaklukan sisi kiriku yang
sombong, angkuh dan penuh dendam ? yaa Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang…
beri aku waktu… beri aku kesembuhan sehingga aku tak perlu membakar rumah kedua
itu…
Salam mbk Ana..
BalasHapusPasti ada hikmah dg diperbolehkannya poligami dan dilarangnya poliandri apalagi selingkuh. Sedangkan cerai pun tidak dianjurkan..
Smoga ALLAH Ta'ala Berikan kemudahan memahami hikmahnya..