Senin, 07 Mei 2012

Terbakarnya Rumah Kedua Itu


          Kami hanya sesekali bertemu itu pun jika sedang memilih-milih sayur mba sayur yang datangnya pukul setengah delapan pagi di kost-kostan kami. Candaan pagi dan tawa kecil hanya melibatkan ibu pengelola kost, aku, si mba sayur dan ibu di kamar nomer 22. Penghuni kamar 23 ini jarang tersenyum dan cenderung menutup diri. Aku juga sudah malas untuk tersenyum apalagi menyapanya ketika di suatu pagi senyum yang dengan tulus kutujukan padanya tak berbalas dan hanya di tanggapi dengan delikan mata. Hmm…. Sungguh aku jadi tidak enak, sejak itulah aku tak berminat making friend dengannya.
          Ibu pengelola kost juga tidak terlalu tahu banyak latar belakangnya, ibunya Ita sapaan akrabku pada pengelola kost ini hanya tahu jika ia telah bersuami dan tak lebih dari itu. Hingga suatu hari ibunya Ita menyebut bahwa kemungkinan sangat tertutupnya penghuni kamar 23 itu karena dia istri kedua dari seorang pria berumur yang bekerja di sebuah bank ternama. Aku dan si mba sayur menggumamkan kata “ooohhh….” Dan aku tak ingin mengusik lebih jauh kehidupan perempuan yang kerap berkerudung itu. Ingatanku kembali pada beberapa bulan yang lalu dimana sakitku bermula. Saat ku tulis kisah ini, aku berusaha senetral mungkin tanpa ingin berdiri aku di pihak mana, namun simak saja penuturanku dan simpulkan sejauh mana aku tak berpihak.
          Siang yang terik dan sepi di tempat kost, aku masih asyik menggarap tulisan fiksiku hingga sayup-sayup aku dengar suara-suara orang bernada marah.  Aku tetap tak tergoda untuk keluar dan melihat apa yang terjadi hingga akhirnya terdengar suara-suara itu semakin melengking. Terseret oleh rasa penasaran akhirnya aku mengintip di jendela, sumpah serapah, caci maki yang pedas di telinga tersembur dari mulut seorang perempuan. Aku menghela nafas panjang, aku mengerti sekarang apa yang terjadi, istri pertama datang menemui istri kedua dengan kemarahan yang menggunung. Aku termenung di sudut jendela, dua sisi hatiku terpecah dua. Sisi kiriku tertawa puas dengan kejadian itu, seakan mewakili kata-kata yang selama ini ingin aku ucapkan dengan teriakan memuaskan. Sisi kiri yang tak mengenal kata maaf, kata ikhlas, kata rela, dan penuh dengan amarah. Rumah kedua itu sedang terbakar, perempuan kedua itu tengah dipermalukan, segala makian yang merendahkan perempuan terdengar beruntun dari mulut istri pertama. aku tidak ingin menguping tapi inilah realita, aku seakan-akan berada di posisi yang sama, mendadak hatiku riuh dengan perasaan perih yang terbuka lagi.
          Lantas apa yang dikatakan sisi kananku saat itu ? andai saja kau jadi perempuan kedua itu An… andai saja kau yang menjalani kehidupan tertutup rapat itu… andai saja kau yang sedang dimaki tanpa perasaan… sisi kananku mencoba untuk berbelas kasihan. Perempuan kamar 23 itu baru saja melahirkan bayinya dua hari yang lalu. Aku berhasil menyeret kakiku menjauh dari jendela dan terduduk di kasur tempat favoritku untuk menulis. Aku bertanya, jika kelak aku menemukan rumah kedua suamiku, jika kelak aku menemukan perempuan kedua itu, apa yang harus aku lakukan ? berlaku sama dengan perempuan yang datang penuh dengan kebencian itukah ? mencaci makinya seperti menghardik pencuri yang kedapatan tangan sedang mencuri ? Aku ingin bertindak lebih elegan, menyapanya dengan senyum, menjabat tangannya dengan lembut, ahhh… benarkah aku mampu melakukannya ? Bisa saja karena aku bukan perempuan istri pertama itu, aku adalah aku dengan kepribadian dan pemikiranku sendiri.
          Perempuan itu sudah pindah dengan bayinya tanpa sepengatahuan suaminya,ia pun tak berpamitan dengan ibunya Ita, ia pergi begitu saja mencoba menghilang tanpa jejak. Aku yang masih sinis melihatnya seperti sedang berlari dan terus berlari, bersembunyi dari istri pertama dan keluarga istri pertama yang bergantian datang melihat dan memaki dirinya. Sampai kapan ia akan menjalani kehidupan seperti itu, toh tak ada yang tahu mengapa ia mau dinikahi laki-laki yang seumuran dengan bapaknya. Aku pun masih mempertanyakan hal yang sama mengapa perempuan itu mau dinikahi suamiku meski ia tahu aku ada, anak-anakku pun ada. Satu-satunya jawaban yang bisa membuatku sedikit membaik adalah semua sudah direncanakan olehNya, skenario ini telah dibuat olehNya. Lantas mampukah sisi kananku menaklukan sisi kiriku yang sombong, angkuh dan penuh dendam ? yaa Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang… beri aku waktu… beri aku kesembuhan sehingga aku tak perlu membakar rumah kedua itu…

1 komentar:

  1. Salam mbk Ana..
    Pasti ada hikmah dg diperbolehkannya poligami dan dilarangnya poliandri apalagi selingkuh. Sedangkan cerai pun tidak dianjurkan..
    Smoga ALLAH Ta'ala Berikan kemudahan memahami hikmahnya..

    BalasHapus